Nasib GTT dalam Skenario Baru Rekrutmen Guru

Senin, 25 April 2011

Untuk mendorong pemerataan serta peningkatan kualitas pendidik, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) telah merilis tiga skenario baru dalam rekrutmen guru. Pertama, lewat Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi sarjana pendidikan dan non kependidikan yang ingin menjadi guru.
Kedua, memberi kesempatan pada mahasiswa semester akhir yang ingin menjadi guru. Dan Ketiga, menjaring lulusan SMA sederajat yang berminat menjadi guru dengan menguliahkan model asrama.
Tidak ada yang salah dari skenario baru ini sebab semua mengarah pada perbaikan kualitas pendidikan. Hanya ada hal yang luput dari perhatian, yakni adanya penafikan terhadap nasib Guru Tidak Tetap (GTT). Padahal mereka selama ini mengabdi dengan tanpa kenal lelah dan nasibnya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Harusnya pembuat kebijakan dapat memahami dengan sesungguhnya kondisi yang dihadapi GTT.
GTT pun sebenarnya tidak berharap secara berlebihan atas nasib mereka. Paling minim, mereka tentu ingin adanya perubahan status menjadi guru tetap. Karenanya, perhatian atas nasib GTT ini harus besar, terlebih pada mereka yang sudah mengabdi untuk jangka waktu yang lama. Adanya skenario baru rekrutmen guru ini harus tetap dengan pertimbangan yang teliti agar tidak mendatangkan masalah dikemudian hari.
Ada beberapa masalah yang muncul berkaitan dengan profesionalisme guru sekarang ini dan menjadikan renungan kita bersama. Pertama, proses penempatan guru yang belum proporsional. Kenyataan yang dihadapi banyak guru yang berada di daerah terpencil tidak memiliki masa depan, bagi pengembangan karirnya maupun kesehatan rohani dan jasmaninya. Dihapuskannya program rotasi, semain menjadikan ciut semangat guru untuk meningkatkan profesionalismenya karena dalam benaknya sudah merasa bahwa sampai pensiun dia tetap berada di sekolah tersebut.
Kedua, rasio jumlah guru terhadap jumlah peserta didik semakin tidak seimbang. Adanya sekolah yang kelebihan guru, namun disisi lain masih banyak sekolah yang kekurangan guru. Sekolah yang kelebihan guru timbul rebutan jam mengajar untuk mencapai ketentuan minimal memperoleh tunjangan profesi. Bahkan ada yang menerapkan team teaching. Sedangkan sekolah yang kekurangan guru, terpaksa mengangkat honorer/GTT yang gajinya dibawah upah minimum.
Secara makro kesejahteraan guru di Indonesia meningkat. Namun dalam fakta dilapangan, kesejahteraan guru non PNS masih sangat minimalistik. Perhatian negara atas kesejahteraan GTT yang miskin sangat memprihatinkan. Gaji guru honorer di bawah daerah bahkan jauh dibawah standar upah minimum regional (UMR). Diskrepansi standar kesejahteraan guru antara mereka yang berstatus abdi negara seharusnya menjadi titik fokus perjuangan GTT. Secara umum organisasi guru mainstream seperti PGRI yang baru berulang tahun ke 65 dan komunitas guru, harus memberikan masukan terhadap Mendiknas agar lebih memperhatikan nasib GTT.
Secara aturan, pihak kepegawaian di daerah, tidak memiliki kewenangan untuk memasukkan mereka dalam database. Sebab aturannya untuk bisa masuk database menjadi urusan pemerintah pusat. Karenanya, pemerintah pusat harus membuat aturan baru yang bisa menjadikan GTT sebagai PNS.

0 komentar: